Rabu, 07 Desember 2016





Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Kerangka Presidensial
Oleh : Andrial Putra
Teacher at MTI Candung school and Collegh Student at IAIN Bukittinggi


Abstraksi

Pembangunan nasional adalah salah satu implementasi dari tujuan bernegara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD 1945 alinia ke empat, yaitu untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Untuk mencapai arah itu,  pemerintah Indonesia dari zaman Presiden Soekarno membuat berbagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional yang mencakup segala bidang. Perubahan era pemerintahan serta merta pula mengubah karakteristik pedoman pembangunan tersebut, mulai dari perubahan nama, konten dan perubahan kewenangan dalam merumuskannya. Orde lama menamakannya dengan Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, orde baru menamakannya dengan GBHN yang keduanya sama-sama ditetapkan oleh MPR dalam bingkai Presiden sebagai mandataris MPR. Reformasi bergulir, merumuskan sistem presidensial yang lebih murni sehingga menghilangkan kewenangan MPR dan mengganti pedoman pembangunan nasional dengan SPPN menyesuaikan dengan pemurnian sistem presidensial.

Nilai normatif SPPN sejatinya lebih ideal dengan karakteristik bangsa, namun mendapati kendala dalam implementasinya. sehingga kepuasan masyarakat terhadap pemerintah menurun, polemik pembangunan semakin komplit dan tidak terarah. Menelaah kondisi tersebut karya tulis ini membangun sebuah ide reformulasi implementasi SPPN dalam bingkai Presidensial, dengan metode kunjungan kepuskatakaan dalam bentuk media, buku, koran dan hal yang semakna dengannya. Sehingga menghasilkan titik temu persoalan implementasi SPPN, ketimbang kembali kepada GBHN yang dapat bermakna mengembalikan wewenang MPR dan merusak kemurnian sistem presidensial. Sekaligus menunjukkan inkonsisten kita sebagai sebuah bangsa.

Kata Kunci : GBHN, SPPN, Reformulasi dan Sistem Presidensial


BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang
Tujuan dibentuknya negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.[1] Sebagaimana rumusan the founding fathers yang mewakili seluruh aspirasi setiap kasta bangsa Indonesia dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-4. Dengan demikian, Indonesia dapat dikatakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejateraan publik, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.[2] Maka, dapat ditafsirkan bahwa pembangunan merupakan sebuah upaya pelaksanaan dari amanat konstitusi UUD Tahun 1945. Terkait dengan hal itu, maka tugas pokok bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan secara bertahap dan berkesinambungan. Maka, demi menjaga efektifitas, efisiensi serta pembangunan yang tepat sasaran diperlukan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional.[3]
Pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia serta merta menggeser kewewenangan kelembagaan negara dalam merumuskan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut pada posisi strategis. Setiap dekade keterlibatan lembaga negara dinaungi oleh payung hukum yang kuat dan berakar pada sumber yang sama, UUD 1945 dan Pancasila. Pada era pemerintahan Orde Lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, pemerintahan kala itu dijalankan berdasarkan UUD 1945 (lagi), setelah sebelumnya diberlakukan Konstitusi RIS, yang kemudian diganti dengan UUD Sementara pada 1950, rencana pembangunan nasional pada era itu dirumuskan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan melahirkan dua produk hukum. Keduanya menetapkan tentang GBHN, yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960 tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN dan Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.[4]
Setelah rezim Orde Lama berganti Orde Baru, pembangunan nasional di Indonesia didasari GBHN. GBHN ini setiap lima tahun disusun dan ditetapkan oleh MPR melalui TAP/MPR dan dijalankan oleh presiden sebagai mandataris MPR. Pada masa ini pembangunan terencana melalui konsep Rencana Pembanguan Lima Tahun (Repelita) yang tertuang dalam GBHN. Runtuhnya Orde Baru, yang disusul dengan perubahan UUD1945, membawa konsekuensi berubahnya kedudukan MPR. MPR, yang semula sebagai lembaga tertinggi negara, menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga negara lain. MPR tidak lagi memilih presiden. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. Hal itu membawa konsekuensi bahwa presiden tidak lagi sebagai mandataris MPR dan tidak bertanggung jawab kepada MPR. Konsekuensi lainnya, GBHN tidak lagi ditetapkan oleh MPR.[5]
Sebagai penggantinya, pedoman penyeleggaraan pembangunan nasional diatur dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selama 20 tahun sebagaimana dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU No. 25 Tahun 2004 tantang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). RPJPN ini menjadi rujukan pembangunan lima tahunan yang disebut dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) : RPJMN I Tahun 2005-2009, RPJMN II Tahun 2010-2014, RPJPMN III Tahun 2015-2019, dan RPJMN IV Tahun 2020-2024. Dokumen perencanaan pembangunan ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melainkan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI.[6]
SPPN yang kemudian dijabarkan dalam RPJPN dan RPJMN diharapkan lebih mempertegas langkah terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam alinea ke-4 UUD 1945. Ruh penetapan SPPN ini berlatar pada amandemen UUD 1945 1-4 yang mempertegas sistem pemerintahan Presidensiil Indonesia dan menggeser kedudukan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sejajar dengan lembaga lainnya, yaitu Presiden, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Konsekuensi berubahnya posisi kelembagaan MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara adalah hilangnya wewenang MPR dalam menetapkan GBHN, karena Presiden bukan lagi mandataris MPR. Berangkat dari pemikiran tersebut, situasi paling menonjol mengenai kewenangan MPR setelah adanya perubahan UUD pada periode 1999-2002 dimana hilangnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga MPR tidak lagi menetapkan GBHN dan Presiden tidak lagi mandataris MPR. Hal ini dikarenakan presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.[7]
Setelah 3 dekade pemerintahan diterapkan, visi Indonesia yang hendak dicapai melalui SPPN yang dituangkan dalam RPJPN -sebagai dokumen perencanaan pembangunan nasional periode 20 tahunan yang terhitung sejak  2005 sampai 2025, yaitu Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur- hingga saat ini belum ditemukan wujud kongkritnya. Keresahan dan ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di depan mata dan bahkan menjauh dari nilai-nilai Pancasila. Baik RPJPN, RPJMN dan RPJM Daerah dipandang tidak lebih baik dari kerangka sebelumnya.[8] Komplikasi permasalahan kenegaraan semakin komplit sedangkan kepuasan rakyat terhadap pemerintah semakin menurun.
Berangkat dari komplitnya problem kenegaraan tersebut, muncul wacana untuk kembali ke GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional. Dengan pengembalian Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diharapkan pembangunan nasional bisa dilakukan secara lurus langsung pada tujuan serta berjalan efektif dan efisien, meskipun presiden berganti. Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono mengatakan ada beberapa alasan mengapa Indonesia memerlukan sistem perencanaan pembangunan nasional model GBHN. Beberapa alasan itu di antaranya negara seluas Indonesia memerlukan haluan negara sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan. Selain itu juga memerlukan integrasi sistem perencanaan pembangunan nasional dan daerah serta sistem perencanaan pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat.[9] Selain itu alasan paling mendasar karena faktanya dengan GBHN, Pemerintah Orde Baru berhasil swasembada pangan dalam 15 tahun dan menekan laju pertumbuhan penduduk dari 5% menjadi 2,5% dalam dekade 1970-an.
Menguatnya wacana pengembalian GBHN, memunculkan dilema baru di tengah pilihan politik mempertahankan dan memurnikan sistem pemerintahan presidensial. Pola pembangunan nasional, baik berupa Pembangunan Nasional Semesta Berencana maupun GBHN, keduanya tidak mungkin dilepaskan dari peran sentral MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dimana MPR akan kembali menjadi penyelenggara negara yang tertinggi dan sekaligus pemegang kuasa negara tertinggi (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Membayangkan GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara ditengah pilihan politik mempertahankan sistem presidensial yang diikuti upaya melakukan pemurnian (purifikasi).[10]
Maka, berangkat dari uraian dan kerangka pemikiran tersebut perlu adanya sebuah perumusan ulang dalam arah pembangunan nasional. Rumusan itu tidak harus bernama GBHN. Karena orde lama juga tidak menamakannya GBHN. Hal yang juga mesti diperhatikan adalah kedudukan MPR harus tetap dalam prespektif reformasi. Karena pilihan mempertahankan dan memurnikan sistem pemerintahan presidensial. Berakar pada pandangan itu, dalam karya tulis ini fokus pembahasan kami adalah “ Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Kerangka Presidensial ”.



B.   Rumusan Masalah
Kajian masalah ini kami rumuskan dalam beberapa pembahasan, yaitu :
1.      Apa yang dimaksud dengan Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN ?
2.      Kenapa perlu Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional ?
3.      Bagaimana bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional tersebut ?

C.   Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.      Mengetahui pengertian Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN.
2.      Mengidentifikasi permasalahan Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional, sehingga perlu reformulasi.
3.      Mengetahui bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional tersebut.

D.   Metode Penulisan/Penelitian
Permasalahan yang akan dikaji merupakan masalah yang bersifat sosial dan dinamis. Oleh karena itu, kami memilih menggunakan metode penelitian kualikatif. Metode penelitian kualikatif menurut Moleong adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain.[11] Teknik pengumpulan data yang kami gunakan adalah studi pustaka (library reseach). yaitu dengan mempelajari buku-buku referensi, lapora-laporan, majalah-majalah, jurnal dan media yang berkaitan dengan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional.


BAB II
PEMBAHASAN

A.   Pengertian Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN
1.      Pengertian Reformulasi
Reformulasi adalah bentuk ulang jamak dari kata formulasi, yaitu suatu tindakan merumuskan kembali.[12] Dalam konteks pembahasan ini sejalan dengan beredarnya wacana kembali ke GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional, menuntut adanya kajian tentang implementasi rumusan pedoman penyelenggaraan pembangunan tersebut. Statement ini berjalan di atas dengan pemikiran yang dilontarkan pakar ketatanegaraan dalam berbagai kesempatan. Statement itu antara lain adalah :
a.       Saldi Isra : meski dengan sesadar-sadarnya kita memerlukan arah pembangunan nasional. membayangkan GBHN dengan pola MPR sebelum perubahan UUD 1945 tentu tidak begitu tepat lagi.[13]
b.      Mahfud : Kita masih butuh haluan negara, namun haluan negara saat ini belum tentu bernama GBHN seperti pada zaman Orde Baru. [14]
c.       Akbar Tanjung : GBHN merupakan hal penting untuk pembangunan di Indonesia. Namun, kedudukan MPR sebagai lembaga juga perlu diperhatikan. Karena, saat ini presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR.[15]

Sekaitan dengan pernyatan tersebut, maka pengembalian GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional perlu pengkajian ulang. Karena hal itu menyangkut pertimbangan keutuhan sistem presidensial. Maka, pemilihan kata reformulasi sebagai langkah kajian hal tersebut tidaklah berlebihan.

2.      Pengertian Sistem Presidensial
Setelah Amademen UUD 1945, MPR bersepakat memperkuat sistem presidensial dengan menempatkan rakyat sebagai pemilik kedaulatan tertinggi negara dan mengubah model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Hal itu secara terang dicantumkan dalam bunyi pasal 1 ayat 2 dan pasal 6A ayat 4 UUD 1945 setelah Amandemen 1-4.[16] Dapat dipahami bahwa UUD 1945 setelah amandemen memperkuat beberapa kekurangan sistem presidensial yang cenderung executive heavy dan pernah terjadi pada era sebelumnya. Karena sistem pemerintahan presidensial adalah sistem pemerintahan dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.[17] Maka, karakteristik penguatan itu terlihat dalam sistem presidensial Indonesia saat ini sebagai berikut[18] :
a.       Presiden dan wakil presiden adalah kepala negara sekaligus pemerintahan.
b.      Presiden dan wakil presiden dipilih oleh rakyat secara langsung dan bertanggung jawab langsung kepada rakyat. Bukan kepada MPR, sehingga Presiden bukan mandataris MPR.
c.       Presiden dan / atau wakil presiden dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum dalam sidang MPR apabila melakukan pelanggaran hukum atau konstitusi.
d.      Dalam hal kekosongan jabatan presiden dan wakil presiden, pemilihannya dapat dilakukan dalam sidang MPR. Tetapi tidak merubah pertanggung jawaban kepada rakyat.
e.       Para menteri adalah pembantu presiden dan wakil presiden, diangkat dan diberhentikan oleh presiden serta bertanggung jawab kepada presiden.
f.       Untuk membatasi kekuasaan presiden ditentukan masa jabatan lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu kali. Selain itu independensi lembaga yang berada di bawak eksekutif diatur sedemikian rupa. Sehingga tidak boleh terpengaruh oleh kekuatan politik presiden.

3.      Pengertian GBHN
GBHN (Garis-garis Besar Haluan Negara) adalah haluan negara tentang penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat yang pada hakikatnya adalah suatu pola umum pembangunan nasional yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[19] Melihat defenisi tersebut, erat kaitan GBHN dengan kewenangan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Karena GBHN ditetapkan oleh MPR sebagai manifestasi kedaulatan rakyat.
Untuk memberikan gambaran mengenai wujud masa depan yang diinginkan melalui GBHN yang dievaluasi 5 tahun sekali, dituangkan dalam pola umum pembangunan nasional secara sistematis yang terdiri dari 3 pokok, yaitu ; pola dasar pembangunan nasional, pola umum pembangunan jangka panjang dan pola umum pembangunan lima tahun.[20] Pola dasar pembangunan nasional adalah tujuan akhir sebagai prinsip-prinsip umum yang mendasari dan hendak diwujudkan melalui GBHN. Pola umum pembangunan jangka panjang adalah arah pembangunan bangsa demi tercapainya cita-cita nasional dalam jangka waktu 25 sampai 30 tahun. Pola umum pembangunan lima tahun adalah rencana pembangunan jangka menengah yang penyusunannya diserahkan kepada Presiden sebagai mandataris MPR dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita).[21]

4.      Pengertian SPPN
SPPN (Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Rencana pembangunan jangka panjang tersebut dituangkan dalam bentuk RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional) untuk periode 20 tahunan. RPJPN ini merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Sedangkan dibawahnya ada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional) yang disusun berdasarkan visi misi presiden terpilih untuk periode 5 tahun dengan berpedoman kepada RPJPN. Dalam skala yang lebih pendek disusun sebuah rencana pembangunan tahunan nasional atau disebut RKP (Rencana Kerja Pemerintah) untuk periode 1 tahun.RKP ini merupakan penjabaran dari RPJMN. Hirarkis seperti ini berlaku hingga ke tingkat daerah. Dimana RPJP daerah didasarkan kepada visi dan misi daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional. Dan RPJM daerah didasarkan kepada visi misi kepala daerah dengan berpedoman RPJP Daerah dan memperhatikan RPJMN. Sedangkan RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD dan mengacu pada RKP, memuat rancangan ekonomi Daerah, prioritas pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaanya, baik yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat maupun yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah.[22]
Paska Reformasi, kewenangan pembuatan dokumen perencanaan pembangunan ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melainkan kewenangan bersama antara DPR dan Presiden. Sebab setelah perubahan UUD 1945 pasca reformasi kewenangan MPR hanyalah sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan umum, memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar, mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar serta kewenangan lain yang diatur dalan UUD 1945 setelah perubahan. Memahami penjabaran UU No 25 tahun 2004 tersebut dan kaitannya dengan perkuatan dan pemurnian sistem presidensial, sulit untuk tidak mengakui bahwa SPPN secara normatife sudah cukup ideal. Dimana keterlibatan stakeholders dalam pembangunan menjapai tujuan bernegara lebih banyak dan mencakup berbagai kalangan masyarakat. Sehingga karakteristik gotong-royong bangsa Indonesia lebih disalurkan secara terstruktur.

B.   Sebab-Sebab Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional
Sebagaimana diuraikan pada bagian sebelumnya, SPPN merupakan salah satu konsekuensi adanya perubahan radikal dalam pengaturan ketatanegaraan paska reformasi. Sejatinya, melihat sistem ketatanegaraan saat ini dan nilai luhur bangsa Indonesia SPPN sudah cukup ideal. Adopsi pendekatan politik, teknokratik, partisipatif dan perpaduan pendekatan top down dan bootom up, merupakan beberapa alasan kuat untuk mendukung argumnrtasi tersebut. Implikasinya, menjadikan SPPN merupakan sebuah sistem perencanaan pembangunan yang intergratif, yang menjanjikan keterpaduan proses pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun pembangunan antar daerah, dengan melibatkan multi-stakeholder.[23]
Sekaitan dengan isi normatif tersebut, ditemui kendala perencanaan dan penganggaran di lapangan. Kendala-kendala tersebut secara umum dapat dirumuskan dalam beberapa hal berikut, yaitu:
1.      Lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data dan informasi sehingga tidak tepat sasaran.
2.      Lemahnya keterkaitan proses perencanaan, proses penganggaran dan proses politik dalam menerjemahkan dokumen perencanaan menjadi dokumen anggaran.
3.      Lemahnya sistem pemantauan, evaluasi dan pengendalian (safeguarding).
4.      Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
5.       Ketergantungan pada sumberdana dari donor dan lembaga internasional.[24]
6.       Tidak adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah dikontruksikan secara ideal dalam peraturan perundang-undangan SPPN maupun RPJPN tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pemangku kepentingan terkait.

Pada akhirnya, banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hampir tidak terjadi pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun daerah. Sehingga sekenanya, muncul wacana pengembalian GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional. Wacana ini mulai diperbincangkan sejak Desember 2013 dan kemudian menguat seiring usulan dari berbagai pihak, seperti Fraksi PDI-P MPR[25], Presiden Joko Widodo yang mengharapkan adanya haluan bernegara, dan pemikiran yang muncul karena MPR tak begitu kelihatan peran konkretnya dalam praktik penyelenggaraan negara.[26]
Menghidupkan kembali GBHN didasarkan pada haluan kita dalam bernegara yang lebih kongkrit dan memiliki arah pertanggung jawaban yang jelas. Sehingga bisa di evaluasi. [27] Disamping itu, semakin banyaknya institusi tinggi negara sekaligus institusi independen yang ada, justru menimbulkan gesekan-gesekan karena terjadinya fungsi yang saling tumpang tindih. Pengalaman silih ganti Presiden sampai empat kali setelah reformasi jelas menunjukkan pembangunan antar penguasa tidak memiliki kesinambungan karena masing-masing memulai dario start nol. Arah pembangunan nasional selama ini mengacu pada visi dan misi Presiden yang kemudian disusun secra detail sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Namun perlu difahami bahwa visi dan misi Presiden tidak bisa dijadikan pedoman pembangunan seluruh bangsa karena nahkoda tetap butuh kebersamaan penghuni bahtera yang sedang berlayar. Sehingga penting untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai acuan arah pembangunan nasional di segala bidang dalam jangka panjang yang disusun oleh semua elemen bangsa.[28]
Namun, muncul persoalan berikutnya berkaitan dengan pilihan ketika berlangsung tahap perubahan UUD 1945 (1999-2002), salah satu kesepakatan yang diambil MPR adalah tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. Tidak berhenti sampai di situ, pilihan politik mempertahankan sistem tersebut diikuti upaya melakukan pemurnian (purifikasi). Di antara bentuk purifikasi yang dilakukan adalah mengubah model pemilihan presiden dan wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat. Persoalan mendasar yang harus dijelaskan: bagaimana menempatkan GBHN dalam proses pemilihan presiden secara langsung? Pertanyaan berupa gugatan tentu saja, misalnya, kapan GBHN tersebut akan disusun? Apakah disusun sebelum proses pemilihan atau setelah pemilihan presiden? Jika disusun sebelum proses pelaksanaan pemilihan, hampir dapat dipastikan semua calon hanya perlu menyampaikan dalam kampanye bahwa jika terpilih, mereka akan melaksanakan yang telah digariskan dalam GBHN.
Sebaliknya, jikalau disusun setelah pemilihan, substansi GBHN tentu lebih banyak mengakomodasi pohon janji yang disampaikan pasangan calon terpilih dalam masa kampanye. Bagaimanapun, dalam batas penalaran yang wajar, janji-janji selama kampanye pasti menjadi salah satu perimbangan penting dalam menentukan pilihan. Jikalau presiden yang terpilih tidak menunaikan janji karena tidak diakomodasi dalam GBHN, tentu saja hal itu menimbulkan rasa kecewa bagi mereka yang telah memilih. Persoalan lain yang tidak kalah serius, membayangkan GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam posisi seperti ini, GBHN yang dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan pola sistem pertanggungjawaban presiden kepada MPR. Sekiranya ini, sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin menghindarkan pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR. Melihat perilaku sebagian kekuatan politik dan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin konsekuensi kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden. Pada saat ini, dengan hilangnya bentuk pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden pun hampir selalu berada dalam tekanan politik untuk dimakzulkan.[29]
Selain itu dalam pemurnian sistem presidensial kita sebagaimana pemaparan sebelumnya, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dalam hal ini MPR, apabila MPR membentuk GBHN tentunya presiden sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif  akan menjalankan pemerintahan dengan panduan GBHN, maka dibutuhkan sebuah lembaga pengawas, apakah MPR akan turun langsung sebagai lembaga pengawas? Bukankah ini akan menjadi awal tumpang tindihnya kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh DPR karena MPR dan DPR sama-sama representasi lembaga legislatif, dan yang terakhir sudah pasti tentunya diakhir masa jabatan presiden harus mempertanggungjawabkan seluruh program kerjanya apakah telah sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan. Serta dapat dijatuhi sanksi apabila dianggap dalam menjalankan pemerintahannya telah keluar dari batasan-batasan yang ditetapkan dalam GBHN. Bukankah hal tersebut tidak mencerminkan ciri pemerintahan presidensiil. Dan  dikhawatirkan GBHN menjadi ‘jembatan’ bagi partai politik untuk kembali berkuasa sebagai oligarki di Indonesia.[30]
Maka, penyempurnaan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional mestilah menjadi hal mendesak. Demi terwujudnya tujuan bernegara yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945 alinia 4. Sekalipun dikemudian hari akan ditemukan lagi berbagai bentuk kekurangan, karena UU merupakan produk hukum sekaligus produk politik yang hari ini bisa saja benar dan pada masa berikutnya memungkinkan untuk dikritik.
C.   Bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Bingkai Sistem Presidensial
Reformulasi atau perumusan kembali pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tidak mesti memulai dari nol. Tetapi merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem yang telah ada. Sebagaimana reformulasi terhadap sistem presidensial itu sendiri ketika terjadi amandemen UUD 1945. Demikian karena pertimbangan-pertimbangan dalam pembahasan sebelumnya. Di dukung juga oleh kondisi politik yang tidak stabil untuk amandemen ke-5 sebagaimana dijelaskan Saldi Isra dan juga, menurut Mahfud, secara pukul rata amandemen terhadap konstitusi biasanya berselang waktu 20 tahun. Sedangkan, dari amandemen terakhir, kini baru berjarak 16 tahun.[31]
Reformulasi tersebut tidak harus mengubah nama pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional menjadi GBHN atau nama lain. Karena dari uraian diatas, persoalan yang dihadapi oleh SPPN hanyalah persoalan implementasi. Maka itulah yang mesti dibenahi. Pembenahan itu dapat dilakukan dengan cara-cara bagaimana melihat ketersambungan antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di DPR. Selain soal itu, bagi pasangan calon presiden, seberapa jauh mereka merujuk perumusan visi-misi sebagai calon pada tujuan bernegara sebagaimana termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks ini, seharusnya calon presiden tidak perlu menyusun visi lagi dan cukup menjadikan tujuan bernegara sebagai visi. Yang harus dilakukan, bagaimana menurunkan tujuan bernegara (yang juga visi calon presiden) ke dalam misi atau agenda-agenda sentral bilamana terpilih sebagai presiden. Jikalau semua calon meletakkan tujuan bernegara menjadi visi, tidak perlu ada perdebatan dan kita tidak perlu khawatir karena semuanya hendak mencapai tujuan bernegara.[32]
     Karena persoalan utama sebenarnya bukanlah konten SPPN, melainkan sinergisitas perencanaan dan komitmen para pemimpin bangsa dalam memajukan dan membangun negara ini. Sehingga pembangunan nasional akan efektif dan efisien bila didukung oleh kepemimpinan yang mampu menyinergikan dan mengkoordinasikan seluruh kepentingan di berbagai bidang dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Menghadapi tantangan sinerfisitas perencanaan dan komitment tersebut, maka Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional dituntut untuk mampu:
1.      Mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam kegiatan-kegiatan melalui kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai masa depan yang diinginkan;
2.      Fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan, sehingga tidak terlalu kaku dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek, menengah dan panjang;
3.      Memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan ke seluruh lapisan masyarakat.[33]
Sehingga dengan kemampuan menyinergikan dan komitmen dalam mencapai  tujuan bernegara para pemimpin negara serta ketersambungan antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di DPR, hal berikutnya dibutuhkan evaluasi pelaksanaan rencana dalam bentuk hal-hal berikut :
1.      Merupakan bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan.
2.      Evaluasi dilaksanakan berdasarkan indikator dan sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result), manfaat (benefit) dan dampak (impact).
3.      Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, berkewajiban untuk melaksanakan evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan tanggungjawabnya.
4.      Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek pembangunan, kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, mengikuti pedoman dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode, materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah rencana.[34]
Dengan demikian semua kekurangan-kekurangan yang ada akan dapat diperbaiki dengan tetap mempertahankan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional dalam prespektif reformasi. Dimana tetap memurnikan sistem presidensial dan tidak mengembalikan kewenangan MPR. Adapun kekurangan lain yang ditemukan berikutnya bisa diperbaiki dan disempurnakan lagi. Karena produk hukum dan produk politis akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan kultur masyarakat. Jika berkaca dengan GBHN, bukan juga tampa kekurangan dalam implementasinya. Sejatinya, konsistensi sebagai sebuah bangsa mesti dipertahankan.



BAB III
PENUTUP

A.   Kesimpulan
1.      Pembangunan nasional adalah dalam rangka mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 pembukaan alinia ke-4. Maka reformulasi implementasi pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional diperlukan adanya. Dalam konteks pembahasan ini sejalan dengan beredarnya wacana kembali ke GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional, menuntut adanya kajian tentang rumusan pedoman penyelenggaraan pembangunan tersebut.
2.      Kesepakatan MPR setelah amandemen UUD 1945 1 sampai 4 memilih untuk menguatkan dan memurnikan sistem presidensial. Pemurnian dimaksud berdampak pada wewenang MPR tidak lagi menetapkan GBHN dan Presiden bukan lagi mandataris MPR. Sehingga Presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR.
3.      GBHN dan SPPN memiliki kesamaan dari segi konten. Namun, GBHN dinilai lebih besar sisi top down sedangkan SPPN seimbang antara top down dan bottom up. Dari segi kewenangan lembaga, GBHN dirumuskan oleh MRP sedangkan SPPN yang dituangkan dalam RPJPN dan RPJMN dirumuskan oleh presiden bersama DPR dan melibatkan lebih banyak stakeholders.
4.      Meskipun sudah dipandang ideal dari segi normatif, SPPN menemui kendala dari segi implementasi. Sehingga muncul wacana menghidupkan kembali GBHN. Meski demikian, menghidupkan kembali GBHN dipandang mengusik kemurnian sistem presidensial dan lebih cendrung kepada sistem parlementer sekaligus akan berdampak pada kemestian amandemen ke lima UUD 1945.
5.      Mengatasi hal tersebut, maka yang harus dibenahi sejatinya adalah implementasi SPPN. Karena setiap produk perundang-undangan merupakan produk hukum dari satu sisi dan produk politis dari sisi lain, yang bisa saja benar hari ini dan sangat memungkinkan untuk dikritik pada dekade berikutnya. Jika harus kembali ke GBHN, akan menunjukkan inkonsistensi kita sebagai sebuah bangsa. Maka, reformulasi terhadap implementasi pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut dalam bingkai sistem presidensial adalah jalan tengah yang perlu diperhitungkan.





DAFTAR PUSTAKA
1.      Buku
i.                    A. Ubaedillah, 2015, Civic education, Kencana, Jakarta.
ii.                  J.Lexi Moleong, 2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
iii.                Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
iv.                Arnicun Aziz, 1994, Lima GBHN, Sinar Grafika, Jakarta.

2.      Jurnal
i.                    Mudiyati Rahmatunnisa, 2013, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana Cihampelas.
ii.                  Saldi isra, 12/01/ 2016, Wacana Menghidupkan GBHN,  Kompas.
iii.                Saldi isra, 23/08/2016, GBHN dan Perubahan Konstitusi,  Kompas.

3.      Website
i.                    https://www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial.
vi.                http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn.
vii.              http://politik.rmol.co/read/2016/10/08/263667/Fraksi-PDI-Perjuangan-MPR-Gali-Masukan-Pakar-Matangkan-Model-Baru-Haluan-Negara-.
viii.            Saldi isra, 23/08/2016, GBHN dan Perubahan Konstitusi,  Kompas.
ix.                http://www.jpnn.com/read/2016/10/08/472945/PDIP-Himpun-Pendapat-Pakar-untuk-Susun-GBHN-Model-Baru-/page2.
x.                  http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/129-gbhn-dan-amandemen-uud.
xi.                http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalah-ketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan.
xii.              http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/01/12/o0uhz8354-mahfud-md-tegaskan-indonesia-pasca-reformasi-punya-esensi-gbhn.

4.      Produk Perundang-undangan
i.                    Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
ii.                  UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional



[1] Pembukan UUD 45 alinia empat.
[2] A. Ubaedillah, Civic education, Kencana, Jakarta, 2015, h. 136.
[3] Tugas Pokok Bangsa dalam UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional
[6] Mudiyati Rahmatunnisa, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana Cihampelas, 2013,  h.2.
[7] Pasal 3 dan pasal 6(A) ayat 4 UUD 1945
[8] https://www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial,  diakses pada tgl. 16/10/2016
[10] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN,  Kompas, 12/01/ 2016.
[11] J.Lexi Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung, 2002, h. 6
[13] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN,  Kompas, 12/01/ 2016.
[16] pasal 1 ayat 2 dan pasal 6(A) ayat 4 UUD 1945
[17] A. Ubaedillah, Civic education, . . . , h. 22
[18] Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 62-63.
[19] Arnicun Aziz, Lima GBHN, Sinar Grafika, Jakarta, 1994, h. 176.
[20] Arnicun Aziz, Lima GBHN, . . . . , h. 278.
[21] Arnicun Aziz, Lima GBHN, . . . . , h. 292.
[22] Pasal 1 UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional
[23] Mudiyati Rahmatunnisa, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana Cihampelas, 2013,  h. 3.
[24] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn,  diakses pada tgl. 19/10/2016.
[25] http://politik.rmol.co/read/2016/10/08/263667/Fraksi-PDI-Perjuangan-MPR-Gali-Masukan-Pakar-Matangkan-Model-Baru-Haluan-Negara- ,  diakses pada tgl. 20/10/2016
[26] Saldi isra, GBHN dan Perubahan Konstitusi,  Kompas, 23/08/2016.
[27] http://www.jpnn.com/read/2016/10/08/472945/PDIP-Himpun-Pendapat-Pakar-untuk-Susun-GBHN-Model-Baru-/page2, diakses pada tgl. 20/10/2016
[28] http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/129-gbhn-dan-amandemen-uud,  diakses pada tgl. 19/10/2016
[29] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN,  Kompas, 12/01/ 2016.
[30] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalah-ketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan,  diakses tgl. 19/10/2016
[31] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/01/12/o0uhz8354-mahfud-md-tegaskan-indonesia-pasca-reformasi-punya-esensi-gbhn,  diakses tgl. 20/10/2016.
[32] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN,  Kompas, 12/01/ 2016.
[33] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn ,  diakses tgl.19/10/2016
[34] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn ,  diakses tgl.19/10/2016

0 komentar :

Posting Komentar