Reformulasi
Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Kerangka
Presidensial
Oleh : Andrial Putra
Teacher at MTI Candung school and Collegh Student at
IAIN Bukittinggi
Abstraksi
Pembangunan nasional adalah salah satu
implementasi dari tujuan bernegara Indonesia yang tertuang dalam pembukaan UUD
1945 alinia ke empat, yaitu untuk melindungi segenap bangsa
Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan
umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.
Untuk mencapai arah itu, pemerintah
Indonesia dari zaman Presiden Soekarno membuat berbagai
pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional yang mencakup segala bidang.
Perubahan era pemerintahan serta merta pula mengubah karakteristik pedoman
pembangunan tersebut, mulai dari perubahan nama, konten dan perubahan
kewenangan dalam merumuskannya. Orde lama menamakannya dengan Garis-Garis
Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana, orde baru menamakannya
dengan GBHN yang keduanya sama-sama ditetapkan oleh MPR dalam bingkai Presiden
sebagai mandataris MPR. Reformasi bergulir, merumuskan sistem presidensial yang
lebih murni sehingga menghilangkan kewenangan MPR dan mengganti pedoman
pembangunan nasional dengan SPPN menyesuaikan dengan pemurnian sistem
presidensial.
Nilai
normatif SPPN sejatinya lebih ideal dengan karakteristik bangsa, namun
mendapati kendala dalam implementasinya. sehingga kepuasan masyarakat terhadap
pemerintah menurun, polemik pembangunan semakin komplit dan tidak terarah.
Menelaah kondisi tersebut karya tulis ini membangun sebuah ide reformulasi
implementasi SPPN dalam bingkai Presidensial, dengan metode kunjungan
kepuskatakaan dalam bentuk media, buku, koran dan hal yang semakna dengannya.
Sehingga menghasilkan titik temu persoalan implementasi SPPN, ketimbang kembali
kepada GBHN yang dapat bermakna mengembalikan wewenang MPR dan merusak
kemurnian sistem presidensial. Sekaligus menunjukkan inkonsisten kita sebagai sebuah
bangsa.
Kata Kunci :
GBHN, SPPN, Reformulasi dan Sistem
Presidensial
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Tujuan
dibentuknya negara Indonesia adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia
dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia.[1]
Sebagaimana rumusan the founding fathers
yang mewakili seluruh aspirasi setiap kasta bangsa Indonesia dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 alinea ke-4. Dengan demikian, Indonesia dapat
dikatakan suatu negara yang bertujuan untuk mewujudkan kesejateraan publik,
membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.[2]
Maka, dapat ditafsirkan bahwa pembangunan merupakan sebuah upaya pelaksanaan
dari amanat konstitusi UUD Tahun 1945. Terkait dengan hal itu, maka tugas pokok
bangsa selanjutnya adalah menyempurnakan dan menjaga kemerdekaan itu serta
mengisinya dengan pembangunan yang berkeadilan dan demokratis yang dilaksanakan
secara bertahap dan berkesinambungan. Maka, demi menjaga efektifitas, efisiensi
serta pembangunan yang tepat sasaran diperlukan pedoman penyelenggaraan
pembangunan nasional.[3]
Pergeseran
sistem ketatanegaraan Indonesia serta merta menggeser kewewenangan kelembagaan
negara dalam merumuskan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut
pada posisi strategis. Setiap dekade keterlibatan lembaga negara dinaungi oleh
payung hukum yang kuat dan berakar pada sumber yang sama, UUD 1945 dan
Pancasila. Pada era pemerintahan Orde Lama setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959,
pemerintahan kala itu dijalankan berdasarkan UUD 1945 (lagi), setelah
sebelumnya diberlakukan Konstitusi RIS, yang kemudian diganti dengan UUD
Sementara pada 1950, rencana pembangunan nasional pada era itu dirumuskan oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara (MPRS) dengan melahirkan dua produk hukum.
Keduanya menetapkan tentang GBHN, yakni Ketetapan MPRS Nomor I/MPRS/1960
tentang Manifesto Politik Republik Indonesia sebagai GBHN dan Ketetapan MPRS
Nomor II/MPRS/1960 tentang Garis-Garis Besar Pola Pembangunan Nasional Semesta
Berencana Tahapan Pertama 1961-1969.[4]
Setelah
rezim Orde Lama berganti Orde Baru, pembangunan nasional di Indonesia didasari
GBHN. GBHN ini setiap lima tahun disusun dan ditetapkan oleh MPR melalui
TAP/MPR dan dijalankan oleh presiden sebagai mandataris MPR. Pada masa ini
pembangunan terencana melalui konsep Rencana Pembanguan Lima Tahun (Repelita)
yang tertuang dalam GBHN. Runtuhnya Orde Baru, yang disusul dengan perubahan
UUD1945, membawa konsekuensi berubahnya kedudukan MPR. MPR, yang semula sebagai
lembaga tertinggi negara, menjadi lembaga negara yang sejajar dengan lembaga
negara lain. MPR tidak lagi memilih presiden. Presiden dipilih secara langsung
oleh rakyat. Hal itu membawa konsekuensi bahwa presiden tidak lagi sebagai
mandataris MPR dan tidak bertanggung jawab kepada MPR. Konsekuensi lainnya,
GBHN tidak lagi ditetapkan oleh MPR.[5]
Sebagai
penggantinya, pedoman penyeleggaraan pembangunan nasional diatur dengan Rencana
Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) selama 20 tahun sebagaimana
dituangkan dalam UU No. 17 Tahun 2007, sebagai amanat dari Pasal 13 ayat (1) UU
No. 25 Tahun 2004 tantang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). RPJPN
ini menjadi rujukan pembangunan lima tahunan yang disebut dengan Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) : RPJMN I Tahun 2005-2009, RPJMN
II Tahun 2010-2014, RPJPMN III Tahun 2015-2019, dan RPJMN IV Tahun 2020-2024.
Dokumen perencanaan pembangunan ini tidak lagi menjadi kewenangan MPR,
melainkan kewenangan bersama antara DPR RI dan Presiden RI.[6]
SPPN
yang kemudian dijabarkan dalam RPJPN dan RPJMN diharapkan lebih mempertegas
langkah terwujudnya cita-cita bangsa Indonesia yang tertuang dalam alinea ke-4
UUD 1945. Ruh penetapan SPPN ini berlatar pada amandemen UUD 1945 1-4 yang
mempertegas sistem pemerintahan Presidensiil Indonesia dan menggeser kedudukan
MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) sejajar dengan lembaga lainnya, yaitu
Presiden, DPR, DPD, BPK, MA dan MK. Konsekuensi berubahnya posisi kelembagaan
MPR dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi negara adalah
hilangnya wewenang MPR dalam menetapkan GBHN, karena Presiden bukan lagi
mandataris MPR. Berangkat dari pemikiran tersebut, situasi paling menonjol
mengenai kewenangan MPR setelah adanya perubahan UUD pada periode 1999-2002
dimana hilangnya kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga MPR tidak
lagi menetapkan GBHN dan Presiden tidak lagi mandataris MPR. Hal ini dikarenakan
presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum.[7]
Setelah
3 dekade pemerintahan diterapkan, visi Indonesia yang hendak dicapai melalui SPPN
yang dituangkan dalam RPJPN -sebagai dokumen perencanaan pembangunan
nasional periode 20 tahunan yang terhitung sejak 2005 sampai 2025, yaitu
Indonesia yang mandiri, maju, adil, dan makmur- hingga saat ini belum ditemukan
wujud kongkritnya. Keresahan dan ketidakpastian masa depan bangsa justru ada di
depan mata dan bahkan menjauh dari nilai-nilai Pancasila.
Baik RPJPN, RPJMN dan RPJM Daerah dipandang tidak lebih baik dari kerangka
sebelumnya.[8]
Komplikasi permasalahan kenegaraan semakin komplit sedangkan kepuasan rakyat
terhadap pemerintah semakin menurun.
Berangkat
dari komplitnya problem kenegaraan tersebut, muncul wacana untuk kembali ke
GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional. Dengan pengembalian Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) diharapkan pembangunan nasional bisa
dilakukan secara lurus langsung pada tujuan serta berjalan efektif dan efisien,
meskipun presiden berganti. Ketua Badan Pengkajian MPR RI Bambang Sadono
mengatakan ada beberapa alasan mengapa Indonesia memerlukan sistem perencanaan
pembangunan nasional model GBHN. Beberapa alasan itu di antaranya negara seluas
Indonesia memerlukan haluan negara sebagai pemandu arah pelaksanaan pembangunan
nasional yang berkesinambungan. Selain itu juga memerlukan integrasi sistem
perencanaan pembangunan nasional dan daerah serta sistem perencanaan
pembangunan yang berbasis kedaulatan rakyat.[9]
Selain itu alasan paling mendasar karena faktanya dengan GBHN, Pemerintah Orde
Baru berhasil swasembada pangan dalam 15 tahun dan menekan laju pertumbuhan
penduduk dari 5% menjadi 2,5% dalam dekade 1970-an.
Menguatnya wacana pengembalian
GBHN, memunculkan dilema baru di
tengah pilihan politik mempertahankan dan memurnikan sistem pemerintahan
presidensial. Pola pembangunan nasional, baik berupa Pembangunan Nasional
Semesta Berencana maupun GBHN, keduanya tidak mungkin dilepaskan dari peran
sentral MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Dimana MPR akan kembali
menjadi penyelenggara negara yang tertinggi dan sekaligus pemegang kuasa negara
tertinggi (die gezamte staatgewalt liegi allein bei der Majelis). Membayangkan
GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi
negara ditengah pilihan politik mempertahankan sistem presidensial yang diikuti
upaya melakukan pemurnian (purifikasi).[10]
Maka, berangkat dari uraian dan kerangka pemikiran tersebut perlu adanya
sebuah perumusan ulang dalam arah pembangunan nasional. Rumusan itu tidak harus
bernama GBHN. Karena orde lama juga tidak menamakannya GBHN. Hal yang juga
mesti diperhatikan adalah kedudukan MPR harus tetap dalam prespektif reformasi.
Karena pilihan mempertahankan dan memurnikan
sistem pemerintahan presidensial. Berakar pada pandangan itu, dalam karya tulis
ini fokus pembahasan kami adalah “ Reformulasi Implementasi Pedoman
Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Kerangka Presidensial ”.
B.
Rumusan Masalah
Kajian masalah ini kami rumuskan dalam beberapa
pembahasan, yaitu :
1.
Apa yang dimaksud dengan Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN ?
2.
Kenapa perlu Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan
Nasional ?
3.
Bagaimana bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan
Pembangunan Nasional tersebut ?
C.
Tujuan Penulisan
Penulisan makalah ini bertujuan untuk :
1.
Mengetahui pengertian Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN.
2.
Mengidentifikasi permasalahan Implementasi Pedoman Penyelenggaraan
Pembangunan Nasional, sehingga perlu reformulasi.
3.
Mengetahui bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman Penyelenggaraan
Pembangunan Nasional tersebut.
D.
Metode Penulisan/Penelitian
Permasalahan yang akan dikaji merupakan masalah
yang bersifat sosial dan dinamis. Oleh karena itu, kami memilih menggunakan
metode penelitian kualikatif. Metode penelitian kualikatif menurut Moleong
adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang
dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku, presepsi, motivasi, tindakan
dan lain-lain.[11]
Teknik pengumpulan data yang kami gunakan adalah studi pustaka (library reseach). yaitu dengan
mempelajari buku-buku referensi, lapora-laporan, majalah-majalah, jurnal dan
media yang berkaitan dengan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Reformulasi, Presidensial, GBHN dan SPPN
1. Pengertian Reformulasi
Reformulasi adalah bentuk ulang jamak dari kata
formulasi, yaitu suatu tindakan merumuskan kembali.[12]
Dalam konteks pembahasan ini sejalan dengan beredarnya wacana kembali ke GBHN
sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional, menuntut adanya kajian
tentang implementasi rumusan pedoman penyelenggaraan pembangunan tersebut.
Statement ini berjalan di atas dengan pemikiran yang dilontarkan pakar
ketatanegaraan dalam berbagai kesempatan. Statement itu antara lain adalah :
a.
Saldi Isra : meski
dengan sesadar-sadarnya kita memerlukan arah pembangunan nasional. membayangkan
GBHN dengan pola MPR sebelum perubahan UUD 1945 tentu tidak begitu tepat lagi.[13]
b.
Mahfud : Kita masih butuh haluan negara, namun haluan negara saat ini belum
tentu bernama GBHN seperti pada zaman Orde Baru. [14]
c.
Akbar Tanjung : GBHN merupakan hal penting untuk pembangunan di Indonesia.
Namun, kedudukan MPR sebagai lembaga juga perlu diperhatikan. Karena, saat ini
presiden bukan lagi sebagai mandataris MPR.[15]
Sekaitan dengan pernyatan
tersebut, maka pengembalian GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan pembangunan
nasional perlu pengkajian ulang. Karena hal itu menyangkut pertimbangan
keutuhan sistem presidensial. Maka, pemilihan kata reformulasi sebagai langkah
kajian hal tersebut tidaklah berlebihan.
2. Pengertian Sistem Presidensial
Setelah Amademen UUD 1945, MPR
bersepakat memperkuat sistem presidensial dengan menempatkan rakyat sebagai
pemilik kedaulatan tertinggi negara dan mengubah model pemilihan presiden dan
wakil presiden dari dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung
oleh rakyat. Hal itu secara terang dicantumkan dalam bunyi pasal 1 ayat 2 dan
pasal 6A ayat 4 UUD 1945 setelah Amandemen 1-4.[16] Dapat
dipahami bahwa UUD 1945 setelah amandemen memperkuat beberapa kekurangan sistem
presidensial yang cenderung executive
heavy dan pernah terjadi pada era sebelumnya. Karena sistem pemerintahan presidensial
adalah sistem pemerintahan dimana presiden sebagai kepala negara dan kepala
pemerintahan.[17] Maka, karakteristik
penguatan itu terlihat dalam sistem presidensial Indonesia saat ini sebagai
berikut[18] :
a.
Presiden dan wakil presiden
adalah kepala negara sekaligus pemerintahan.
b.
Presiden dan wakil presiden
dipilih oleh rakyat secara langsung dan bertanggung jawab langsung kepada
rakyat. Bukan kepada MPR, sehingga Presiden bukan mandataris MPR.
c.
Presiden dan / atau wakil
presiden dapat dimintakan pertanggung jawaban secara hukum dalam sidang MPR
apabila melakukan pelanggaran hukum atau konstitusi.
d.
Dalam hal kekosongan jabatan
presiden dan wakil presiden, pemilihannya dapat dilakukan dalam sidang MPR.
Tetapi tidak merubah pertanggung jawaban kepada rakyat.
e.
Para menteri adalah pembantu
presiden dan wakil presiden, diangkat dan diberhentikan oleh presiden serta
bertanggung jawab kepada presiden.
f.
Untuk membatasi kekuasaan
presiden ditentukan masa jabatan lima tahun dan hanya dapat dipilih kembali satu
kali. Selain itu independensi lembaga yang berada di bawak eksekutif diatur
sedemikian rupa. Sehingga tidak boleh terpengaruh oleh kekuatan politik
presiden.
3. Pengertian GBHN
GBHN (Garis-garis Besar Haluan
Negara) adalah haluan negara tentang
penyelenggaraan negara dalam garis-garis besar sebagai pernyataan kehendak rakyat
yang pada hakikatnya adalah suatu pola umum pembangunan nasional yang ditetapkan
oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[19]
Melihat defenisi tersebut, erat kaitan GBHN dengan kewenangan MPR sebagai
lembaga tertinggi negara. Karena GBHN ditetapkan oleh MPR sebagai manifestasi
kedaulatan rakyat.
Untuk memberikan gambaran
mengenai wujud masa depan yang diinginkan melalui GBHN yang dievaluasi 5 tahun
sekali, dituangkan dalam pola umum pembangunan nasional secara sistematis yang
terdiri dari 3 pokok, yaitu ; pola dasar pembangunan nasional, pola umum
pembangunan jangka panjang dan pola umum pembangunan lima tahun.[20] Pola
dasar pembangunan nasional adalah tujuan akhir sebagai prinsip-prinsip umum
yang mendasari dan hendak diwujudkan melalui GBHN. Pola umum pembangunan jangka
panjang adalah arah pembangunan bangsa demi tercapainya cita-cita nasional
dalam jangka waktu 25 sampai 30 tahun. Pola umum pembangunan lima tahun adalah
rencana pembangunan jangka menengah yang penyusunannya diserahkan kepada
Presiden sebagai mandataris MPR dalam bentuk Rencana Pembangunan Lima Tahun
(Repelita).[21]
4. Pengertian SPPN
SPPN (Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional) adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan
untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka
menengah dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan
masyarakat di tingkat pusat dan daerah. Rencana pembangunan jangka panjang
tersebut dituangkan dalam bentuk RPJPN (Rencana Pembangunan Jangka Panjang
Nasional) untuk periode 20 tahunan. RPJPN ini merupakan penjabaran dari tujuan
dibentuknya pemerintahan negara Indonesia yang tercantum dalam pembukaan UUD
1945. Sedangkan dibawahnya ada RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah
Nasional) yang disusun berdasarkan visi misi presiden terpilih untuk periode 5
tahun dengan berpedoman kepada RPJPN. Dalam skala yang lebih pendek disusun
sebuah rencana pembangunan tahunan nasional atau disebut RKP (Rencana Kerja
Pemerintah) untuk periode 1 tahun.RKP ini merupakan penjabaran dari RPJMN.
Hirarkis seperti ini berlaku hingga ke tingkat daerah. Dimana RPJP daerah
didasarkan kepada visi dan misi daerah dengan mengacu pada RPJP Nasional. Dan
RPJM daerah didasarkan kepada visi misi kepala daerah dengan berpedoman RPJP
Daerah dan memperhatikan RPJMN. Sedangkan RKPD merupakan penjabaran dari RPJMD
dan mengacu pada RKP, memuat rancangan ekonomi Daerah, prioritas pembangunan
daerah, rencana kerja dan pendanaanya, baik yang ditempuh dengan mendorong
partisipasi masyarakat maupun yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah.[22]
Paska Reformasi,
kewenangan pembuatan dokumen perencanaan pembangunan ini
tidak lagi menjadi kewenangan MPR, melainkan kewenangan bersama antara DPR dan
Presiden. Sebab setelah perubahan UUD 1945 pasca reformasi kewenangan MPR
hanyalah sebatas melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan
umum, memberhentikan Presiden dan Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-Undang Dasar, mengubah dan menetapkan Undang-Undang Dasar serta
kewenangan lain yang diatur dalan UUD 1945 setelah perubahan. Memahami penjabaran UU No 25 tahun 2004 tersebut
dan kaitannya dengan perkuatan dan pemurnian sistem presidensial, sulit untuk
tidak mengakui bahwa SPPN secara normatife sudah cukup ideal. Dimana
keterlibatan stakeholders dalam
pembangunan menjapai tujuan bernegara lebih banyak dan mencakup berbagai
kalangan masyarakat. Sehingga karakteristik gotong-royong bangsa Indonesia
lebih disalurkan secara terstruktur.
B. Sebab-Sebab Reformulasi
Implementasi Pedoman Penyelenggaraan Pembangunan Nasional
Sebagaimana diuraikan pada bagian
sebelumnya, SPPN merupakan salah satu konsekuensi adanya perubahan radikal
dalam pengaturan ketatanegaraan paska reformasi. Sejatinya, melihat sistem
ketatanegaraan saat ini dan nilai luhur bangsa Indonesia SPPN sudah cukup
ideal. Adopsi pendekatan politik, teknokratik, partisipatif dan perpaduan
pendekatan top down dan bootom up, merupakan beberapa alasan
kuat untuk mendukung argumnrtasi tersebut. Implikasinya, menjadikan SPPN
merupakan sebuah sistem perencanaan pembangunan yang intergratif, yang
menjanjikan keterpaduan proses pembangunan nasional, pembangunan daerah maupun
pembangunan antar daerah, dengan melibatkan multi-stakeholder.[23]
Sekaitan dengan
isi normatif tersebut, ditemui kendala perencanaan dan penganggaran di lapangan. Kendala-kendala tersebut secara umum dapat dirumuskan dalam beberapa hal
berikut, yaitu:
1.
Lemahnya koordinasi dalam pengelolaan data dan
informasi sehingga tidak tepat sasaran.
2.
Lemahnya keterkaitan proses perencanaan, proses penganggaran
dan proses politik dalam menerjemahkan dokumen perencanaan menjadi dokumen
anggaran.
3.
Lemahnya sistem pemantauan, evaluasi dan pengendalian
(safeguarding).
4.
Lemahnya koordinasi antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah.
6.
Tidak adanya jaminan kepastian bahwa apa yang telah
dikontruksikan secara ideal dalam peraturan perundang-undangan SPPN maupun
RPJPN tidak dilaksanakan secara konsisten oleh pemangku kepentingan terkait.
Pada akhirnya,
banyak pihak yang menilai bahwa proses pembangunan seolah berjalan
sendiri-sendiri dan menjadi tidak berpola. Kondisi ini dapat dikatakan hampir
tidak terjadi pada era sebelumnya, ketika GBHN merupakan rujukan utama proses
perencanaan pembangunan baik di level nasional maupun daerah. Sehingga
sekenanya, muncul wacana pengembalian GBHN sebagai pedoman penyelenggaraan
pembangunan nasional. Wacana ini mulai diperbincangkan sejak Desember 2013 dan
kemudian menguat seiring usulan dari berbagai pihak, seperti Fraksi PDI-P MPR[25],
Presiden Joko Widodo yang mengharapkan adanya haluan bernegara, dan pemikiran yang muncul karena MPR tak
begitu kelihatan peran konkretnya dalam praktik penyelenggaraan negara.[26]
Menghidupkan kembali GBHN
didasarkan pada haluan kita dalam bernegara yang lebih kongkrit dan memiliki
arah pertanggung jawaban yang jelas. Sehingga bisa di evaluasi. [27]
Disamping itu, semakin banyaknya
institusi tinggi negara sekaligus institusi independen yang ada, justru
menimbulkan gesekan-gesekan karena terjadinya fungsi yang saling tumpang
tindih. Pengalaman silih ganti Presiden sampai empat kali setelah reformasi
jelas menunjukkan pembangunan antar penguasa tidak memiliki kesinambungan
karena masing-masing memulai dario start nol. Arah pembangunan nasional selama
ini mengacu pada visi dan misi Presiden yang kemudian disusun secra detail
sebagai Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM). Namun perlu difahami bahwa
visi dan misi Presiden tidak bisa dijadikan pedoman pembangunan seluruh bangsa
karena nahkoda tetap butuh kebersamaan penghuni bahtera yang sedang berlayar.
Sehingga penting untuk menghidupkan kembali Garis-garis Besar Haluan Negara
(GBHN) sebagai acuan arah pembangunan nasional di segala bidang dalam jangka
panjang yang disusun oleh semua elemen bangsa.[28]
Namun, muncul
persoalan berikutnya berkaitan dengan pilihan ketika
berlangsung tahap perubahan UUD 1945 (1999-2002), salah satu kesepakatan yang
diambil MPR adalah tetap mempertahankan sistem pemerintahan presidensial. Tidak
berhenti sampai di situ, pilihan politik mempertahankan sistem tersebut diikuti
upaya melakukan pemurnian (purifikasi). Di antara bentuk purifikasi yang
dilakukan adalah mengubah model pemilihan presiden dan wakil presiden dari
dipilih lembaga perwakilan (MPR) menjadi pemilihan langsung oleh rakyat.
Persoalan mendasar yang harus dijelaskan: bagaimana menempatkan GBHN dalam
proses pemilihan presiden secara langsung? Pertanyaan berupa gugatan tentu
saja, misalnya, kapan GBHN tersebut akan disusun? Apakah disusun sebelum proses
pemilihan atau setelah pemilihan presiden? Jika disusun sebelum proses
pelaksanaan pemilihan, hampir dapat dipastikan semua calon hanya perlu
menyampaikan dalam kampanye bahwa jika terpilih, mereka akan melaksanakan yang
telah digariskan dalam GBHN.
Sebaliknya, jikalau disusun setelah pemilihan,
substansi GBHN tentu lebih banyak mengakomodasi pohon janji yang disampaikan
pasangan calon terpilih dalam masa kampanye. Bagaimanapun, dalam batas
penalaran yang wajar, janji-janji selama kampanye pasti menjadi salah satu
perimbangan penting dalam menentukan pilihan. Jikalau presiden yang terpilih
tidak menunaikan janji karena tidak diakomodasi dalam GBHN, tentu saja hal itu
menimbulkan rasa kecewa bagi mereka yang telah memilih. Persoalan lain yang
tidak kalah serius, membayangkan GBHN dibuat MPR tentu saja menempatkan kembali
MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Dalam posisi seperti ini, GBHN yang
dibuat MPR tentu saja akan menghadirkan pola sistem pertanggungjawaban presiden
kepada MPR. Sekiranya ini, sebagaimana pengalaman sebelumnya, tidak mungkin
menghindarkan pertanggungjawaban politik presiden kepada MPR. Melihat perilaku
sebagian kekuatan politik dan elite politik saat ini, bukan tidak mungkin
konsekuensi kehadiran GBHN akan sangat menyulitkan presiden. Pada saat ini,
dengan hilangnya bentuk pertanggungjawaban politik kepada MPR, presiden pun
hampir selalu berada dalam tekanan politik untuk dimakzulkan.[29]
Selain itu dalam pemurnian sistem presidensial kita sebagaimana
pemaparan sebelumnya, presiden tidak bertanggung jawab kepada parlemen dalam
hal ini MPR, apabila MPR membentuk GBHN tentunya presiden sebagai pelaksana
kekuasaan eksekutif akan menjalankan
pemerintahan dengan panduan GBHN, maka dibutuhkan sebuah lembaga pengawas,
apakah MPR akan turun langsung sebagai lembaga pengawas? Bukankah ini akan
menjadi awal tumpang tindihnya kewenangan pengawasan yang dimiliki oleh DPR
karena MPR dan DPR sama-sama representasi lembaga legislatif, dan yang terakhir
sudah pasti tentunya diakhir masa jabatan presiden harus mempertanggungjawabkan
seluruh program kerjanya apakah telah sesuai dengan GBHN yang telah ditetapkan.
Serta dapat dijatuhi sanksi apabila dianggap dalam menjalankan pemerintahannya
telah keluar dari batasan-batasan yang ditetapkan dalam GBHN. Bukankah hal
tersebut tidak mencerminkan ciri pemerintahan presidensiil. Dan dikhawatirkan GBHN menjadi
‘jembatan’ bagi partai politik untuk kembali berkuasa sebagai oligarki di
Indonesia.[30]
Maka, penyempurnaan pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional mestilah
menjadi hal mendesak. Demi terwujudnya tujuan bernegara yang termaktub dalam
pembukaan UUD 1945 alinia 4. Sekalipun dikemudian hari akan ditemukan lagi
berbagai bentuk kekurangan, karena UU merupakan produk hukum sekaligus produk
politik yang hari ini bisa saja benar dan pada masa berikutnya memungkinkan
untuk dikritik.
C.
Bentuk Reformulasi Implementasi Pedoman
Penyelenggaraan Pembangunan Nasional Dalam Bingkai Sistem Presidensial
Reformulasi atau perumusan kembali
pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tidak mesti memulai dari nol.
Tetapi merupakan bentuk penyempurnaan dari sistem yang telah ada. Sebagaimana
reformulasi terhadap sistem presidensial itu sendiri ketika terjadi amandemen
UUD 1945. Demikian karena pertimbangan-pertimbangan dalam pembahasan
sebelumnya. Di dukung juga oleh kondisi politik yang tidak stabil untuk
amandemen ke-5 sebagaimana dijelaskan Saldi Isra dan juga, menurut Mahfud,
secara pukul rata amandemen terhadap konstitusi biasanya berselang waktu 20
tahun. Sedangkan, dari amandemen terakhir, kini baru berjarak 16 tahun.[31]
Reformulasi tersebut tidak harus mengubah nama pedoman
penyelenggaraan pembangunan nasional menjadi GBHN atau nama lain. Karena dari
uraian diatas, persoalan yang dihadapi oleh SPPN hanyalah persoalan
implementasi. Maka itulah yang mesti dibenahi. Pembenahan itu dapat dilakukan
dengan cara-cara bagaimana melihat ketersambungan antara rencana yang disusun
Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan, dan pembahasan RAPBN di
DPR. Selain soal itu, bagi pasangan calon presiden, seberapa jauh mereka
merujuk perumusan visi-misi sebagai calon pada tujuan bernegara sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Dalam konteks ini, seharusnya calon
presiden tidak perlu menyusun visi lagi dan cukup menjadikan tujuan bernegara
sebagai visi. Yang harus dilakukan, bagaimana menurunkan tujuan bernegara (yang
juga visi calon presiden) ke dalam misi atau agenda-agenda sentral bilamana
terpilih sebagai presiden. Jikalau semua calon meletakkan tujuan bernegara
menjadi visi, tidak perlu ada perdebatan dan kita tidak perlu khawatir karena
semuanya hendak mencapai tujuan bernegara.[32]
Karena persoalan utama sebenarnya bukanlah konten
SPPN, melainkan sinergisitas perencanaan dan komitmen para pemimpin bangsa
dalam memajukan dan membangun negara ini. Sehingga pembangunan nasional akan
efektif dan efisien bila didukung oleh kepemimpinan yang mampu menyinergikan
dan mengkoordinasikan seluruh kepentingan di berbagai bidang dalam
penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional.
Menghadapi
tantangan sinerfisitas perencanaan dan komitment tersebut, maka Pedoman
Penyelenggaraan Pembangunan Nasional dituntut untuk mampu:
1.
Mengalokasikan sumberdaya pembangunan kedalam
kegiatan-kegiatan melalui kelembagaan-kelembagaan dalam konteks untuk mencapai
masa depan yang diinginkan;
2.
Fleksible dengan horizon perencanaan yang ditetapkan,
sehingga tidak terlalu kaku dengan penerapan konsep pembangunan jangka pendek,
menengah dan panjang;
3.
Memperluas dan mendiseminasikan kemampuan perencanaan
ke seluruh lapisan masyarakat.[33]
Sehingga dengan
kemampuan menyinergikan dan komitmen dalam mencapai tujuan bernegara para pemimpin negara serta ketersambungan
antara rencana yang disusun Bappenas, penyusunan RAPBN di Kementerian Keuangan,
dan pembahasan RAPBN di DPR, hal berikutnya dibutuhkan evaluasi pelaksanaan rencana dalam bentuk hal-hal berikut :
1.
Merupakan bagian dari kegiatan perencanaan pembangunan
yang secara sistematis mengumpulkan dan menganalisis data dan informasi untuk
menilai pencapaian sasaran, tujuan dan kinerja pembangunan.
2.
Evaluasi dilaksanakan berdasarkan indikator dan
sasaran kinerja yang tercantum dalam dokumen rencana pembangunan. Indikator dan
sasaran kinerja mencakup masukan (input), keluaran (output), hasil (result),
manfaat (benefit) dan dampak (impact).
3.
Dalam rangka perencanaan pembangunan, setiap
kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, berkewajiban untuk melaksanakan
evaluasi kinerja pembangunan yang merupakan dan atau terkait dengan fungsi dan
tanggungjawabnya.
4.
Dalam melaksanakan evaluasi kinerja proyek
pembangunan, kementerian/lembaga, baik pusat maupun daerah, mengikuti pedoman
dan petunjuk pelaksanaan evaluasi kinerja untuk menjamin keseragaman metode,
materi, dan ukuran yang sesuai untuk masing-masing jangka waktu sebuah rencana.[34]
Dengan demikian semua kekurangan-kekurangan yang
ada akan dapat diperbaiki dengan tetap mempertahankan pedoman penyelenggaraan
pembangunan nasional dalam prespektif reformasi. Dimana tetap memurnikan sistem
presidensial dan tidak mengembalikan kewenangan MPR. Adapun kekurangan lain
yang ditemukan berikutnya bisa diperbaiki dan disempurnakan lagi. Karena produk
hukum dan produk politis akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan
kultur masyarakat. Jika berkaca dengan GBHN, bukan juga tampa kekurangan dalam
implementasinya. Sejatinya, konsistensi sebagai sebuah bangsa mesti dipertahankan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Pembangunan
nasional adalah dalam rangka mewujudkan tujuan negara Indonesia sebagaimana
termaktub dalam UUD 1945 pembukaan alinia ke-4. Maka reformulasi implementasi
pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional diperlukan adanya. Dalam konteks
pembahasan ini sejalan dengan beredarnya wacana kembali ke GBHN sebagai pedoman
penyelenggaraan pembangunan nasional, menuntut adanya kajian tentang rumusan
pedoman penyelenggaraan pembangunan tersebut.
2.
Kesepakatan
MPR setelah amandemen UUD 1945 1 sampai 4 memilih untuk menguatkan dan memurnikan
sistem presidensial. Pemurnian dimaksud berdampak pada wewenang MPR tidak lagi
menetapkan GBHN dan Presiden bukan lagi mandataris MPR. Sehingga Presiden tidak
bertanggung jawab kepada MPR.
3.
GBHN
dan SPPN memiliki kesamaan dari segi konten. Namun, GBHN dinilai lebih besar
sisi top down sedangkan SPPN seimbang
antara top down dan bottom up. Dari segi kewenangan lembaga,
GBHN dirumuskan oleh MRP sedangkan SPPN yang dituangkan dalam RPJPN dan RPJMN
dirumuskan oleh presiden bersama DPR dan melibatkan lebih banyak stakeholders.
4.
Meskipun
sudah dipandang ideal dari segi normatif, SPPN menemui kendala dari segi
implementasi. Sehingga muncul wacana menghidupkan kembali GBHN. Meski demikian,
menghidupkan kembali GBHN dipandang mengusik kemurnian sistem presidensial dan
lebih cendrung kepada sistem parlementer sekaligus akan berdampak pada
kemestian amandemen ke lima UUD 1945.
5.
Mengatasi
hal tersebut, maka yang harus dibenahi sejatinya adalah implementasi SPPN.
Karena setiap produk perundang-undangan merupakan produk hukum dari satu sisi
dan produk politis dari sisi lain, yang bisa saja benar hari ini dan sangat
memungkinkan untuk dikritik pada dekade berikutnya. Jika harus kembali ke GBHN,
akan menunjukkan inkonsistensi kita sebagai sebuah bangsa. Maka, reformulasi
terhadap implementasi pedoman penyelenggaraan pembangunan nasional tersebut
dalam bingkai sistem presidensial adalah jalan tengah yang perlu
diperhitungkan.
DAFTAR PUSTAKA
1. Buku
i.
A. Ubaedillah,
2015, Civic education, Kencana,
Jakarta.
ii.
J.Lexi Moleong,
2002, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Karya, Bandung.
iii.
Jimly
Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta.
iv.
Arnicun Aziz, 1994,
Lima GBHN, Sinar Grafika, Jakarta.
2. Jurnal
i.
Mudiyati
Rahmatunnisa, 2013, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan
pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana
Cihampelas.
ii.
Saldi isra,
12/01/ 2016, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas.
iii.
Saldi isra,
23/08/2016, GBHN dan Perubahan
Konstitusi, Kompas.
3. Website
i.
https://www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial.
vi.
http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn.
vii.
http://politik.rmol.co/read/2016/10/08/263667/Fraksi-PDI-Perjuangan-MPR-Gali-Masukan-Pakar-Matangkan-Model-Baru-Haluan-Negara-.
viii.
Saldi isra,
23/08/2016, GBHN dan Perubahan
Konstitusi, Kompas.
ix.
http://www.jpnn.com/read/2016/10/08/472945/PDIP-Himpun-Pendapat-Pakar-untuk-Susun-GBHN-Model-Baru-/page2.
x.
http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/129-gbhn-dan-amandemen-uud.
xi.
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalah-ketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan.
xii.
http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/01/12/o0uhz8354-mahfud-md-tegaskan-indonesia-pasca-reformasi-punya-esensi-gbhn.
4. Produk
Perundang-undangan
i.
Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
ii.
UU No.25 Tahun
2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional
[1] Pembukan UUD 45
alinia empat.
[2] A. Ubaedillah, Civic education, Kencana, Jakarta, 2015,
h. 136.
[3] Tugas Pokok
Bangsa dalam UU No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan
Nasional
[5] https://www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial, diakses pada
tgl. 16/10/2016
[6] Mudiyati
Rahmatunnisa, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan
pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana
Cihampelas, 2013, h.2.
[7] Pasal 3 dan
pasal 6(A) ayat 4 UUD 1945
[8]
https://www.tempo.co/read/kolom/2016/08/31/2380/gbhn-dan-sistem-presidensial, diakses pada tgl. 16/10/2016
[10] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas, 12/01/ 2016.
[11] J.Lexi Moleong,
Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja
Karya, Bandung, 2002, h. 6
[12] http://kamus-internasional.com/definitions/?indonesian_word=reformulation, diakses pada
tgl. 19/10/2016
[13] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas, 12/01/ 2016.
[15] http://www.cnnindonesia.com/politik/20160122194223-32-106123/mpr-kembali-tetapkan-gbhn-akan-kacaukan-sistem-konstitusi/, diakses pada
tgl. 20/10/2016
[17] A. Ubaedillah, Civic education, . . . , h. 22
[18] Jimly
Asshiddiqie, Konstitusi dan
Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, h. 62-63.
[19] Arnicun Aziz, Lima GBHN, Sinar Grafika, Jakarta, 1994,
h. 176.
[20] Arnicun Aziz, Lima GBHN, . . . . , h. 278.
[21] Arnicun Aziz, Lima GBHN, . . . . , h. 292.
[22] Pasal 1 UU
No.25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pemabangunan Nasional
[23] Mudiyati
Rahmatunnisa, SPPN GBHN dan MPR, disampaikan
pada seminar nasional sistem ketatanegaraan Indonesia, Hotel Aston Tropicana
Cihampelas, 2013, h. 3.
[24] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn, diakses pada tgl. 19/10/2016.
[25] http://politik.rmol.co/read/2016/10/08/263667/Fraksi-PDI-Perjuangan-MPR-Gali-Masukan-Pakar-Matangkan-Model-Baru-Haluan-Negara-
, diakses pada tgl. 20/10/2016
[26] Saldi isra, GBHN dan Perubahan Konstitusi, Kompas, 23/08/2016.
[27] http://www.jpnn.com/read/2016/10/08/472945/PDIP-Himpun-Pendapat-Pakar-untuk-Susun-GBHN-Model-Baru-/page2,
diakses pada tgl. 20/10/2016
[28] http://bpsdm.kemenkumham.go.id/artikel-bpsdm/129-gbhn-dan-amandemen-uud, diakses pada tgl. 19/10/2016
[29] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas, 12/01/ 2016.
[30] http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt569e320c81ddd/tiga-masalah-ketatanegaraan-jika-gbhn-dihidupkan, diakses tgl. 19/10/2016
[31] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/politik/16/01/12/o0uhz8354-mahfud-md-tegaskan-indonesia-pasca-reformasi-punya-esensi-gbhn, diakses tgl. 20/10/2016.
[32] Saldi isra, Wacana Menghidupkan GBHN, Kompas, 12/01/ 2016.
[33] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn
, diakses tgl.19/10/2016
[34] http://perencanaan.ipdn.ac.id/kajian-perencanaan/kajian-perencanaan/sistemperencanaanpembangunannasionalsppn
, diakses tgl.19/10/2016
0 komentar :
Posting Komentar